Dewasa ini perkembangan ICT (information and communication technology) semakin spektakular. Masyarakat telah menemukan ruang baru, hidup dalam masyarakat jejaring (the network society). Akses internet sudah menjadi kebutuhan hidup segala lapisan masyarakat. Jumlah blogger, faceboker, dan twitter
terus meningkat, mereka pergi berpantasi kedunia maya dengan berbagai
macam motif dan keperluan; bisnis, mobilisasi massa, menebarkan ideologi
politik, chatting, browsing literature, menelusuri lowongan
kerja, mencari teman kencan dan lain sebagainya. Kehadiran teknologi
internet berdampak pada pergeseran strategi gerakan pelajar.
Dunia internet, khususnya situs jejaring sosial, memang memungkinkan
pelajar bebas berekspresi. Namun, keberhasilan gerakan berbasis jejaring
sosial hanya sebatas menghimpun jumlah “KLIK”, tapi gagal melahirkan
gerakan perlawanan, baik struktural maupun kultural. Tekanan sosial yang
dilakukan masyarakat melalui media baru inilah yang mampu membuat
segala tindak tanduk dalam pemerintahan semakin dapat terkontrol.
Perubahan datang melalui jutaan klik di layar-layar komputer yang saling
terkoneksi. Sehingga IPM memerlukan sebuah model gerakan yang ramping,
gesit, dan irit untuk merespon akselerasi perubahan dunia yang begitu
cepat.
Gerakan Pelajar Baru
Gerakan Pelajar Baru (New Students Movement) selanjutnya GPB ialah sebuah gerakan yang berpondasi Gerakan Sosial Baru (New Social Movement) dengan
konteks menuju peradaban post-modern Secara definisi gerakan pelajar
baru memiliki penjelasan konseptual gerakan social baru. Karena pelajar
ialah “kelas sosial tertentu yang menuntut ilmu secara terus-menerus
serta memiliki hak dan kewajiban dalam bidang pendidikan.” (Anggaran
Dasar). GPB, memainkan aksi – aksi sporadis seperti, menarik perhatian
media, berdemonstrasi untuk mendukung maupun menentang perubahan
kebijakan pemerintah.
Tujuan gerakan pelajar baru adalah untuk menata kembali relasi
negara, dengan masyarakat, dan untuk menciptakan ruang publik di
dalamnya wacana demokratis ihwal otonomi dan kebebasan individual dan
kolektivitas serta identitas. Harapannya dengan pilihan IPM sebagai GPB,
IPM mampu menjadikan dirinya sebaga sayap gerakan pelajar yang membidik
isu-isu pendidikan dan pelajar. Sehingga, setiap ada permasalahan
mengenai pelajar dan pendidikan, IPM selalu tampil terdepan berbicara
sebagai problem solver dan tampil di media untuk membentuk opini ruang public.
Strategi gerakan GPB tidak mengikuti model pengorganisasian model
politik partai. GPB lebih memilih gerakan kultural (non-politik),
menerapkan taktik mobilisasi opini publik untuk mendapatkan daya tawar
politik. GPB menata hubungan antara negara, masyarakat, dan pendidikan
untuk memciptakan ruang publik yang didalamnya terdapat wacana
demokrasi, kebebasan individu, kolektivitas, dan identitas,
Struktur gerakan GPB mampu mengorganisasikan diri secara cair,
mengalir, dan tidak kaku (moderat) untuk menghindari oligarkisasi. GPB
mengembangkan format gerakan yang tidak birokratis, dengan pendapat
bahwa birokrasi modern telah membawa pada dehumanisasi GPB ingin
menciptakan struktur yang lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan
pelajar, yakni struktur yang terbuka, terdesentralisasi, dan
non-hirarkis
Pelaku Gerakan GPB berasal dari basis sosial pendidikan, yaitu
pelajar. Para aktor GPB berjuang melintasi sekat-sekat sosial demi
kemanusiaan. Partisipan GPB berasal dari kelas menengah baru (the new
midle class), contohnya akademik (pelajar), seniman, atau umumnya ialah
kaum terdidik (ulama’). Para aktor GPB tidak bisa dibedakan dalam kelas
sosial, gender, usia, suku, lokalitas. Sehingga nampak menjadi gerakan
pelajar yang plural.
Sehingga konsekuensi bagi IPM ialah harus memperamping birokratisasi
melalui media, dimana untuk komunikasi lgsg ke grassroot harus lebih
cepat dn efektif. IPM harus melawan efek negatif media dengan melawan
kemapanan (status quo), yang berbentuk ideology palsu. IPM harus lebih
konsen pada capaian yang terukur, fokus pada titik yang dibidik dan
akuntabilitas, yaitu pendidikan. Media adalah lahan utama IPM yg wajib
dioptimalkan manfaatnya. Sebagai contoh revolusi mesir 80% social networking dan 20% turun kelapangan.
Aktualisasi Peran IPM di Ruang Publik: Media Baru?
Gerakan Pelajar Baru (GPB) dalam melakukan advokasi pelajar
mengandalkan pengorganisasian melalui media massa arus utama, kini
mereka memanfaatkan internet sebagai media avokasi. Sebagai gerakan
pelajar, gerakan dunia maya telah mampu meraih simpati kolektif dari
masyarakat pelajar. GPB merupakan akselerasi gerakan dari dunia maya ke
dunia riil, hasilnya pun sangat positif kedua permasalahan tersebut
tuntas dengan keadilan yang diciptakan oleh masyarakat sipil.
Kecenderungan ini memberikan sebuah pola baru dalam proses konsolidasi
demokrasi di Indonesia.
Sisi positif yang muncul, bahwa dunia maya menjadi salah satu
instrument lahirnya ruang publik yang paling demokratis dewasa ini.
Protes-protes, kritikan dan berbagai gerakan politik dan kepentingan
muncul diruang dunia maya, sebagai sebuah konstruksi dari dunia riil.
Bangunan baru ruang publik melalui media digital telah menjadi fenomena
yang cukup menarik dalam perkembangan demokrasi dewasa ini. GPB melalui
instrumennya yang tercipta di ruang publik memiliki kekuatan ideologis
tertentu, sebagai wujud eksistensi dari kaum oposisi dan juga masyarakat
sipil (civil society) dalam melihat realitas politik, sosial, ekonomi,
budaya dan pendidikan.
Jejaring-jejaring social tersebut menciptakan stimulus, respon dan
tindakan-tindakan kolektif yang dibingkai oleh norma, nilai-nilai dan
sangsi sosial. Pentinganya media atau ruang publik dalam penyaluran
aspirasi politik merupakan sebuah protes atau kritik sosial akibat
tersumbatnya dan tidak berfungsinya fungsi-fungsi politik, yang
seharusnya diperankan oleh lembaga-lembaga politik, dari parpol sampai
pada lembaga eksekutif, legeslatif dan juga yudikatif. Merupakan
landasan dasar dari munculnya perjuangan keadilan dan moral di ruang
publik. Kemunculan IPM sebagai Gerakan Pelajar Baru (GPB) di ruang
public di dunia maya, merupakan kemajuan baru dalam sejarah pergerakan.
Ada banyak pesan moral yang disampaikan oleh aksi-aksi masa dalam ruang
publik, inti dari GPB yaitu gugatan terhadap realitas. Ada sebuah
kesadaran kritis terhadap berbagai permasalahan ketidakadilan tentang
hal-hak pelajar. Kemajuan teknologi informasi, menggeser ruang publik
kedalam dunia maya.
Gugatan terhadap realitas yang diwujudkan dalam gerakan dunia maya
menjadi awal yang baik untuk perkembangan demokrasi, tetapi tentunya
hambatan-hambatan dari kelompok yang merasa dirugikan oleh kebebasan
ruang publik virtual akan terus menghadang gerakan dunia maya tersebut.
Sehingga dalam prinsip gerakan harus ada afiliasi antara gerakan dunia
maya dengan gerakan dalam dunia riil. Terwujudnya sinkronisasi antara
dua ruang tersebut akan menghasilkan sebuah gerakan yang masive dan
disinilah titik kritis dari akhir perjuangan dalam gerakan dunia maya.
Fenomena media baru dan keterlibatan politik pelajar lewat perkembangan teknologi dapat disebut dengan istilah “electronic politics”.
Model politik ini membuat IPM lebih leluasa untuk mengomentari
kebijakan public terkait pelajar. Sekaligus mampu memfasilitasi
komunikasi antar pelajar untuk berbagi pendapat tentang suatu
permasalahan pendidikan. Bahkan tidak hanya warga, para aktor politik
pun dapat menggunakan media baru untuk menyuarakan opininya.
Sederhananya, semua bebas dan terbuka untuk berkomentar di wilayah media
baru. Inilah era baru berpolitik!
Media dan Rekayasa Realitas: dimana Peran IPM?
Hakikat berita adalah rekonstruksi tertulis atas suatu realitas yang
ada dalam masyarakat. Maka hasil rekonstruksi akan bergantung kepada
siapa actor yang melakukan rekosntruksi, yaitu wartawan, redaktur, dan
segala kepentingan yang bermain di media masa. Lalu bagaimana dengan
ideology atau pandangan dunia (waltanschaung) pelajar? Setiap hari,
bahkan setiap menit dan detik, pandangan dunia selalu bertarung dalam
media dengan laju kecepatan tinggi yang begitu cepat mempengaruhi alam
pikiran pelajar sehingga membentuk sikap dan prilaku sehari-hari. Karena
pandangan dunia merupakan bingkai (framing) untuk mengambarkan dunia.
Bingkai ialah scenario, sehingga pada hakikatnya yang berkuasa
membentuk pandangan dunia pelajar ialah ialah siapa yang mampu membuat
scenario. Mampukah IPM memaninkan peran ini, yaitu sebagai pembuat
scenario untuk mendesain realitas?
Pekerjaan media pada hakikatnya ialah mengkonstruksi realitas. Isi
media adalah hasil para pekerja media yang mengkostruksi pelbagai
realitas, misalnya realitas ekonomi, realitas politik, atau realitas
pendidikan. Jadi, setiap upaya mengungkap, menampilkan, menceritakan
permasalahan apapun, pada hakikatnya adalah usaha media mengkostruksi
realitas. Oleh karena itu, media terkadang menawarkan madu kadang pula
menawarkan racun. Berkenaan dengan hal ini, media masa terutama televise
lazim melakukan pelbagai tindakan konstruksi realitas, dimana hasil
ahirnya berpengaruh kuat terhadap pembentukan makna atau citra tentang
realitas. Sehingga, besarnya perhatian masyarakat terhadap sebuah isu,
sangat tergantung pada seberapa besar media memberikan perhatian pada
isu tersebut. Contoh TV adalah menjadi target teoritis favorit teori
social kritis.
Bagaimanakah peran IPM? dengan pilihan GPB, di tengah arus peradaban
yang melaju dengan kecepatan tinggi yang ditandai dengan perkembangan
IPTEK gerakan IPM akan lebih focus membidik isu-isu seputar permasalahan
pelajar di ruang public dengan memperjunagkan nilai-nilai luhur yaitu
IMTAQ. Dengan pena kritis, IPM harus tajam melihat problem-problem
pelajar, dan membongkar ideology (pandangan dunia) palsu yang menyerang
pelajar. Kemudian melakukan konstruksi realitas melalui wacana public
secara terus menerus sehingga mendominasi ruang public yang pada ahirnya
mampu menjadi wacana dominan. Begitupula perjuangan nilai-nilai
ideologis, IPM juga harus menjadi scenario ideology melalui
media yang pada ahirnya akan mempengaruhi pandangan dunia bagi pelajar
kemudian membektuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai luhur Islam,
yakni akhlakul karimah.
Sehingga di era postmodernisme (kontemporer), paling tidak ada dua
hal yang harus diperbaruhi dalam gerakannya. Pertama, secara folisofis
gerakan IPM ialah bagaimana menjadikan pelajar memiliki karakter
humanis-spiritual, himanis-reigius, humanis-ilahiyah, atau
humanism-teosentris. Kedua, secara motodis gerakan IPM di era
kontemporer harus menggunakan metode-metode yang dialogis, parstispatif,
eksploratif,dan dekoratif. Dalam istilah al-Qur’an ialah tawasaubil Haq, tawasubis Shabr (saling menasehati kepada Kebenaran Mutlaq, saling menasehati dalam kesabaran) Wallahu A’lam.