Dalam pandangan Islam, kemuliaan manusia tidak diukur dari banyaknya harta atau tingginya kedudukan, melainkan dari ketakwaannya. Miskin bukanlah sebuah aib, karena kemiskinan adalah ujian kehidupan yang bisa menjadi jalan menuju surga jika dihadapi dengan sabar dan tawakal. Banyak sahabat Rasulullah ﷺ yang hidup sederhana bahkan miskin, namun kedudukan mereka mulia di sisi Allah.
Yang justru berbahaya adalah kufur nikmat, yakni sikap tidak bersyukur atas apa yang telah Allah berikan. Kufur nikmat dapat menjangkiti siapa saja, baik yang miskin maupun yang kaya. Seseorang yang tidak mensyukuri nikmat akan selalu merasa kurang, mengeluh, dan memandang remeh pemberian Allah. Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu kufur, sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7).
Miskin yang sabar lebih mulia daripada kaya tapi sombong. Bahkan, orang miskin yang ikhlas dan ridha dengan takdirnya mendapat kemuliaan di sisi Allah. Sebaliknya, orang yang bergelimang harta namun kufur nikmat justru menjauh dari rahmat-Nya. Yang terpenting bukanlah banyak atau sedikitnya harta, tetapi bagaimana kita memanfaatkan dan mensyukuri apa yang kita miliki.
Bersyukur bukan berarti pasrah tanpa usaha. Justru rasa syukur mendorong kita untuk bekerja keras, berbagi kepada yang membutuhkan, dan tidak memandang rendah nikmat sekecil apa pun. Hati yang bersyukur akan tenang, sementara hati yang kufur nikmat akan gelisah meski memiliki segalanya.
Mari kita tanamkan keyakinan bahwa miskin bukanlah kehinaan, tetapi kehilangan rasa syukur adalah bencana. Sebab, kekayaan sejati bukan pada banyaknya harta, melainkan pada hati yang merasa cukup dengan pemberian Allah.

