Gara-Gara
Insomnia
By Ipeh
El-Fishy
Nur memecu Beat-nya
dengan kecepatan tinggi. Sedang aku yang diboncenginya hanya diam seribu bahasa
mendekap tubuhnya. Seolah-olah tempat sawangan ini begitu lama bisa kami lalui.
Lampu motor yang menerpa badan jalan dan pohon-pohon ek menambah suasana
semakin mencekam, belum lagi suara burung malam yang entah kenapa malam itu
menjadi horor kurasakan.
Tetesan air hujan sudah tidak kami rasai lagi,
baju kami sudah basah kuyup sejak tadi, 30 menit yang lalu. Kami harus
nekat menebus derasnya hujan agar tidak kemalaman di Gunung Selang, tempat yang
ketika disebutkan namanya membuat semua orang bergidik. Menurutku bukan soal
hantu dan sebangsanya tetapi nyawa yang sangat murah sekali untuk melayang
kapan suka di tempat ini, semua sepakat denganku.
Jangan
heran, Nur ini sebenarnya terjangkit sindrom penakut yang akut terhadap cerita
horror seputar hantu dan kawan-kawanya. Tapi malam ini keterpaksaan sudah
menjelma dalam dadanya hingga dia masih bisa memacu motornya sedemikian hebat,
mengejar ketertinggalan.
Jika bukan
karena dosen statistiknya yang killer itu kami tidak akan senekat ini.
Keyakinanku semakin menyala ketika melirik arloji ditangan kiriku pukul 21.10
wib. Bulu kuduku meremang, ini bukan pengembaraan yang
pertama kalinya hanya mitos dan suasana yang membuat horor.
Dalam rintik
hujan yang semakin membuat tubuh menggigil samar-samar terlihat gerakan yang
berkelebat. Aku semakin merapatkan tubuh mendekap Nur. Celaka dua belas
pikirku, dalam hati aku membaca trikul sebagai penangkal setan dan bahaya.
Sungguh semakin dekat semakin nyata.
"Dia
manusia mbak, lihat kakinya menapak di tanah" Kata Nur tanpa aku bertanya
dia menjelaskan . Suaranya mengandung empedu
"Iya
bener Nur, gimana Nur kita ngebut aja, gak usah berhenti" Imbuhku dengan
suara sedingin es. Nur mengangguk tanda sepakat
dengan usulanku.
Tanpa diduga bayangan
laki-laki tadi menghadang jalan kami. Apa mau dikata dalam gerakan yang spontan
Nur menghidari menabrak laki-laki itu dan kami terpental dari motor.
Selanjutnya
aku sudah kehabisan nafas melihat rupa orang itu.
Dan suaranya yang berat serupa malaikat izrail. Aku sadari
bahwa aku menggigil dan nafasku berat tak beraturan.
“
Banguuunn...subuhh..” Suara melengking itu perlahan menyadarkan kami. Kami
tergolek diatas dipan kamar Nur. Dan suara itu adalah suara Ibu-nya Nur.
“Wes subuh bangun, sholat dulu" Kata Ibu-nya Nur mengulangi.
“Ya Allah
aku susah tidurr” Kata Nur sambil histeris.
“Susah tidur
dari hongkong, suara dengkuranmu sampai ke
RT sebelah” Kata Ibu Nya Nur sambil berlalu dari kamar.
“Nur tadi
malam Mbak mimpi serem abis” Aku memulai cerita begitu ingat apa yang terjadi
semalam.
“Lah katanya
Mbak juga insomnia kog sampai bisa mimpi?” Tanya nur
“ Iya gak
tau aneh aja, tapi mimpinya serem banget Nur. Kalau bisa kita pulangnya jangan
sampai kemaleman dijalan ya”
“Iya Mbak
semoga aja acara nikahnya selesai cepat atau kita pamit duluan aja sama sepupu
Nur” Kata Nur lagi dengan kantung matanya yang semakin menghitam.
“Ini pasti
gara-gara susah tidur, padahal udah habis kopi dua gelas” Selorohku sambil
ingin tidur lagi.
***
Secerah pagi itu, Nur sudah kepanasan sejak sepuluh menit yang lalu. Dahinya berkerut
memastikan dan mengingat-ingat, tapi tak mampu. Tetap saja dia harus banyak
mengkonsumsi sejenis suplemen agar ingatannya tetap terjaga dengan baik. Akhirnya
senyumnya terkembang, pasti didalam laci
pikirnya. Dan ternyata tidak ada, seisi kamar sudah berantakan tapi tidak juga
di temukan.
“Tuhan
mengapa penyakit semacam ini harus aku yang dijangkitinya”. Kata
Nur dengan suara jengkel
“Dosen
statistic lima menit lagi akan masuk, sementara jarak antara kosan dan kampus
lebih kurang 15 menit dengan kecepatan super. Kunci motor tidak juga ketemu.
Mau jadi apa aku ini”. Lanjutnya berkelahi dengan diri sendiri.
“Ya tetap masih jadi orang”
Sahutku sekenanya
Demi kunci motor Nur yang raib seisi asrama ikut geger dibuatnya.
“Memangnya kamu letakan dimana Nur, coba ingat-ingat lagi deh” Kataku sok iba.
“Udah Mbak tapi gak ketemu, kenapa aku jadi pelupa begini, pasti ini gara-gara insomnia, gimana Mbak?” Kata Nur dengan nada cemas. Selain penyakit insomnia yang telah
menjangkitinya dia juga pelupa yang akut.
Sama seperti malam-malam
sebelumnya, buku bagiku hanya sebagai alas tidur. Karena bagitu siap membaca, baru satu dua
halaman mataku sudah tidak bisa diajak kompromi. Padahal waktu baru pukul
delapan malam. Berbanding terbalik dengan Nur, dia bisa belajar hingga jam dua
belas malam. Namun, lebih dari itu dia tak bisa lagi konsentrasi. Biasanya dia
akan langsung menyusulku tidur. Tubuhnya lunglai di atas ranjang namun mata dan
pikiranya mengembara kemana-mana. Coba miring kekiri-kanan, telentang dan
tengkurap, membaca doa dan berwudhu semua sia-sia. Sebagai teman satu asramanya
aku turun prihatin, selain tubuhnya yang semakin mengurus, kantung matanya yang
menggantung dia juga jadi sangat pelupa.
Hanya bisa memberikan
saran-saran seperti banyakin olahraga dan makan yang sehat serta mengurangi
tidur siang yang berlebihan. Aku melihat Nur memang terlalu depresi, kecemasan
berlebihan, selalu khawatir dengan masalah yang belum terselesaikan terutama
soal tugas-tugas kuliahnya. Hingga akhirnya dia mulai rajin berolahraga,
refreshing, dan tidak perlu terlalu mengkhawatirkan dunia yang sudah diatur
sedemikian rupa. Nur juga mulai membiasakan istirahat siang barang se-jam dan
lebih rajin berolahraga. Dengan demikian insomnianya memang belum hilang tapi
setidaknya berkurang.