Sebuah desa
udik Bukit Menyan. Adalah salah satu desa paling barat dan primitif dari
kabupaten Kepahiang. Sesuai dengan namanya desa ini di kelilingi perbukitan
yang tinggi menjulang hingga ke langit, butuh 1 jam untuk ke kota kabupaten.
Udara khas perbukitan dingin menusuk hingga kesumsum tulang. Jika adzan subuh
berkumandang kami sibuk memperbaiki selimut dan mengabaikan suara adzan tapi
suara Mamak lebih kencang dari toa,
berdenging-denging di telinga kami, dan tidak akan
berhenti sebelum kami meninggalkan kamar untuk mengambil wudhu yang super
dingin.
Mayoritas penduduk di desa ini
adalah petani kopi yang panen setahun sekali. Jika panen sedang bagus maka
persediaan bisa untuk setengah tahun, kemudian setengahnya lagi berhutang
dengan para rentenir. Tapi jika panen tidak begitu bagus, hasil buah kopi
sedikit, maka hidup mereka tetap saja bergantung pada rentenir. Kesimpulanya
bagus atau tidaknya panen hidup orang desa kami tetap bergantung pada rentenir.
Apa boleh buat? Tidak ada tempat bergantung bagi orang melarat seperti kami
kecuali renternir. Orang yang mendapatkan cap rentenir adalah Wak Haji, namun
setelah kedua meninggal praktek rentenir dikampung dilanjutkan oleh Pak Manaf.
Di kampung udik ini, memiliki
kebiasaan pada umumnya kampung lainya, para orangtua pergi berkebun di ladang
dan sawah dari pagi dan pulang menjelang petang. Mereka terlalu sibuk berkebun
demi mencukupi kebutuhan pokok keluarga ditambah dengan beban menyekolahkan
anak mereka. Anak-anak mereka di sekolahkan di SD kampung, setelah lulus yang
punya biaya akan menyekolahkan lagi anaknya hingga MTs/ SMP di kabupaten karena
di Bukit hanya ada sekolah dasar saja. Orang tua yang mampu menyekolahkan
anaknya hingga SMA pasti orang tua yang pekerja keras, atau orang kaya atau
berhutang pada rentenir kampung.
Secara pemikiran sudah mulai
terbuka memikili kesadaran tentang pentingnya arti sebuah pendidikan untuk
memutuskan mata rantai kemiskinan meski mereka terkaget-kaget dengan biaya
pendidikan yang tidak murah. Dengan
Keputusan Vertikal Limit Page 54
kesibukan mereka berkebun anak-anak semakin
terbaikan, didalam keluarga tidak ada lagi internalisasi nilai-nilai agama
meski mereka mengaji pada sore hari. Ditambah lagi dengan gaya hidup modern
yang mulai merambah masuk hingga kepelosok kampung pedalaman sekalipun. Maka
anak-anak di kampung ini sudah mulai mengadopsi gaya hidup modern padahal dulu
adalah kampung yang sangat menjunjung tinggi budaya adat istiadat dan
religiusitas, maka setelah Ustad Malik wafat hal itu tidak lagi di indahkan.
Ustad Malik adalah ulama yang mensyiarkan agama islam di kampung ini, sayangnya
tidak ada penerusnya. Hal yang menjadi kegelisahan para orangtua dan aku secara
pribadi tidak terjadi sekali, tapi berkali-kali namun hal itu seperti sudah
lumrah. Paling ada mendapat cemohan dari tetangga satu atau dua minggu sudah
itu kembali biasa. Apa itu? Hamil di luar nikah. Dan itu biasa saja.
Di Buki,t aku bukan orang yang
pertama menggunakan jilbab, tapi sudah ada pendahulunya, meski untuk saat ini
jilbab adalah style yang setiap
muslimah dapat menggunakanya secara tulus maupun asal pakai saja. Mamak kami
seperti ibu-ibu lainya, ketika berjumpa dengan ibu tetangga, maka hal yang
paling sering diceritakan adalah senetron tadi malam meski sudah sama-sama
menontonya tapi rasanya menceritakan ulang adalah kepuasan tersendiri, cerita
anak-anaknya yang sudah mulai sekolah dan memakai jilbab. Dan tidak lupa pula
mengosip tetangga yang menurut mereka kurang baik akhlaknya juga menghujat
pemerintah. Aku sungguh tidak mengerti mengapa menjadi ibu rumah tangga
memiliki kecenderungan hobi yang sama untuk mengomentari si anu dan si itu yang
ada pada pandangan mereka.
Keputusan Vertikal Limit Page 55
Pagi dimanapun berada adalah awal
kehidupan dimulai. Pagi didesa kami tak jauh beda dari tempat lain. Pagi itu
seperti biasa aku membantu menyapu halaman, sambil ku perhatikan kesibukan yang
lain. Jika aku lihat Bapak, berdirinya memang masih tegap, lebih tegap bapak
daripada menara pissa Italia. Namun rambutnya sudah mulai memutih di makan usia
kulitnya cokelat mengkilap di bakar sinar terik matahari, kedua tulang pipinya
nampak menonjol dan tulang rahangnya pun tak lebih tersembunyi, menggambarkan
bahwa betapa dia menguras seluruh tenaganya setiap hari rela berpeluh-peluh di
bawah sinar yang menyengat demi menghidupi anak-anaknya. Pergi ke kebun pagi
dan pulang petang namun Bapak tidak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai
seorang muslim yang taat, Sholat.
Aku terfikirkan, apa hinanya
menjadi petani, toh Pak Camat, Pak Bupati dan Pak Presiden makan dari hasil
pertanian. Memiliki profesi sebagai petani menjadi semacam mendapat stempel
kelas sosial yang paling rendah. Waktu masih SD kami sudah di ajarkan untuk
bercita-cita yang tinggi menjadi dokter, menteri, pilot, pramugari hingga
presiden. Tidak ada yang bercita-cita menjadi guru ngaji apalagi petani.
Tujuanya mungkin untuk memperbaiki taraf hidup yang lebih baik tapi hasilnya
malah saling berlomba-lomba untuk mengumpulkan harta, manusia menjadi serakah.
Seperti biasa selepas sholat
magrib berjamaah bapak selalu memberikan tausiyahh sepatah-dua patah kata
kepada kami sekeluarga.
”Belajar itu bisa dimanapun,dengan siapapun,
kapanpun, pendidikan itu sangat penting, tapi ilmu agama jauh lebih penting,
jika engkau ingin di pandang orang
Keputusan Vertikal Limit Page 56
banyak maka jadilah orang yang berpendidikan yang
mempunyai kedudukan tinggi, tapi jika engkau ingin mulia di hadapan Allah maka
jadilah orang yang mantab dengan ilmu agamanya, bukan sekedar teori tapi
prakteknya”mata bapak mengawasi Anin yang sudah seperti cacing kepanasan ingin
menonton tayangan kesukaanya Spongebob.
”Berbuat baik kepada Allah,
dengan cara menjalankan semua peraturaNya dan menjauhi segala yang di
larangaNya, untuk hubungan kita kepada sesama berbuat baiklah kepada sanak
saudara dan tetangga, susungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosamu dengan
tetanggamu sebelum kamu meminta maaf kepada saudara mu itu” bapak adalah sosok
yang paling memiliki karisma walaupun kadang-kadang aku kurang sepaham
denganya.
Tujuh Belas tahun yang lalu,
waktu kami belum tahu apa itu belajar, apa itu mengaji , belum tahu apa itu uang
atau apa itu Agama. Yang kami tahu hanya Bapak dan Ibu yang selalu memenuhi
segala rengekan kami untuk di belikan baju baru warna hijau atau Sobi sering
merengek minta di belikan mobil-mobilan, jika keinginan kami tidak terpenuhi
maka menangislah kami sekencang-kencangnya. Tanpa mau tahu apa Bapak dan Ibu
punya uang untuk membelikan baju dan mobil-mobilan kami. Padahal Ibu sudah
bilang ketika mau pergi ke pasar. ”Nanti jangan minta apa-apa di pasar ya” dan
kami pun akan menjawab ”Ya....” dan kemudian lupa.
Ketika umurku menginjak 6 tahun
aku telah siap untuk di masukan ke sekolah, waktu itu yang aku tahu sekolah
itu, yaitu anak-anak kecil yang memakai seragam merah-putih dan di sekolah itu
nanti aku akan pulang pergi sendirian dan
Keputusan Vertikal Limit Page 57
pulang ke rumah kalau sudah siang hari .Aku belum
mau di sekolahkan, bahkan sampai umurku tujuh tahun aku belum juga mau di
sekolahkan. Tapi Bapak memaksa aku untuk sekolah. Masih terngiang kata-kata
Bapak waktu itu ”mau jadi apa kalau kamu nggak sekolah Nduk?” meskipun setiap hari aku harus di antar jemput juga sering
membolos karena sangat tidak ingin sekolah. Di sekolah guru-guruku terus
memberikan motivasi gapailah cita-citamu setinggi bintang di langit.Secara
subtansi memang itu adalah suatu hal yang mustahil, tapi sekali lagi itu hanya
kiasan agar kami yang pada waktu itu masih mengenakan seragam merah putih terus
maju untuk menempuh pendidikan.
Hasilnya aku , hanya satu-satunya
aku yang tidak bisa di hentikan dalam mengarungi roda pendidikan dari sekolah
Kampung yang jelek dan kotor dan tidak pernah berprestasi hingga nanti di
perguruan tinggi .Apapun alasanya aku tak peduli yang jelas aku ingin menuntut
ilmu dan ingin terus sekolah setinggi-tingginya. Hal itu ku sematkan dalam hati
diam-diam.
Karena mungkin masih kecil, aku
tidak pernah melihat ada kesenjangan di keluargaku, aku dan Sobi makan apa saja
yang kami mau, meminta apapun yang kami mau. Semenjak aku kuliah permasalahan
ekonomi keluarga sangat aku rasakan. Mungkin inilah akibatnya jika aku terlalu
ngotot ingin menggapai bintang di langit, padahal sudah tahu hal itu tidak
mungkin. Ada saja badai yang tiba-tiba datang menghadang, tornado yang singgah
di rumahku tanpa permisi.
***
Beberapa waktu lalu , aku di
nyatakan lulus tanpa tes di fakultas Fisip komunikasi, aku merasa sangat senang
meskipun masih ada keraguan di hatiku,
Keputusan Vertikal Limit Page 58
masih ragu dengan jurusan yang aku pilih . Semua
tidak aku hiaraukan, aku langsung melaksanakan tahapan selanjutnya yakni
registrasi dan daftar ulang. Beberapa minggu kemudian Matrikulasi (BEM) dan
(masa ta‟aruf calon anggota ) Mastaca ikatan mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di
mulai, aku terpaksa tidak mengikuti keduanya karena sesuatu dan lain hal(urusan
keluarga).
Selang beberapa hari perkuliahan
pun di mulai, biasanya hari-hari baru masuk sekolah tidak terkecuali kuliah
pasti belum terlalu aktif belajar,sama dengan di kampus baru ku ini. Hanya
perkenalan kalaupun lebih jauh sang dosen hanya memberikan silabus dan beberapa
buku yang akan di jadikan referensi perkuliahan. Aku sempat heran dengan kampus
ini berbanding terbalik dengan pengetahuanku selama ini. Muhamamdiyah adalah
organisasi massa yang mengedepankan asas-asas islam karena sudah jelas
landasanya adalah al-Qur‟an dan As-sunah, minimal dengan pengetahuanku yang
minim itu bisa juga tercermin dari pola perilaku civitas akademika yang islami.
”Mahasiswinya saja banyak tidak
mengenakan jilbab dan tidak mendapat teguran”Jannah teman sekelasku nyelenting.
”Apalagi teman-teman di kelas
kita ini, masa cuman kita berdua yang memakai jilbab?” Jannah kembali
berkomentar
”Coba de lihat hanya di tempat-tempat
tertentu bertuliskan “kawasan busana Muslim” misalnya di rektorat, di fakultas.
Bukankah ini kampus yang mengedepankan nilai-nilai islam ,ya minimal
mahasiswinya di wajibkan memakai jilbab. Apalagi ketika melihat semboyan
„comite to the Quality, kampus islami,ilmiah dan keren” keren si ok tercermin
dari mahasiswa mayoritas di
Keputusan Vertikal Limit Page 59
kampus ini yang gaul dan tren, tapi islami nya lari
kemana?” Beberapa kali hal ini di utarakan oleh sahabat baruku ini bahkan
bertubi-tubi, aku simpan dalam dada meskipun berkecamuk dan sesak juga.
”Semua kan membutuhkan proses
yang panjang, kupu-kupu saja untuk menjadi secantik itu harus bermetamorfosis
berbulan-bulan, apalagi ini mengurusi orang yang tidak sedikit, tentunya bukan
hal yang mudah untuk mengurusi 10 ribu mahasiswa” aku sedikit berargumen agar
tidak terkesan hanya mendengar
” Sepuluhribu?
dari mana kamu tahu?”
”Kan Jannah yang bilang, lupa ya lupa” aku gelitikin perutnya ”Eh iya ya
hehe...”
”Eh belum
tua udah tulalit...”
”Ti,
kapan kita mau belanja?, lagi obral jilbab lo..murah-murah...,”
”Iya,
nunggu waktu yang tepat”
”Nunggu kiriman”
”Dasar
anak kos hehehe..”